Cuaca panas di Papua, membuat dua siswi kelas 10 SMAN 4 Merauke melakukan inovasi baru melalui serangkaian riset. Yaitu menemukan plafon yang membikin rumah adem, dengan bahan limbah kayu.

Mesya Mohamad, Tangsel

SITI Khusnul Kotimah dan Abigael Novita Sari tidak menyangka hasil risetnya bisa masuk final Indonesian Science Project Olympiad (ISP0) yang digelar 21-23 Februari di Sekolah Kharisma Bangsa, Pondok Cabe, Tangerang Selatan.

Ini merupakan kali pertama Papua masuk final. Sehingga menjadi kebanggaan sendiri bagi Siti dan Abigael bisa mewakili Papua.

Siti menceritakan, asal mula mereka meneliti kulit pohon bus sebagai bahan pembuatan papan plafon rumah antipanas. Selama ini, kulit pohon bus hanya jadi limbah.

Masyarakat hanya menggunakan kayunya untuk bahan bangunan serta kayu bakar. Sedangkan kulitnya dibuang hingga membusuk.

Dengan dibantu gurunya, Siti dan Abigael mencari tahu sifat kulit pohon bus. Ternyata, dia punya sifat tahan air dan bisa menyerap panas. Atas dasar itu dua remaja ini melakukan penelitian selama dua bulan.

Siti semakin semangat, karena rerata rumah masyarakat Jagebob tidak menggunakan plafon karena harga triplek mahal.

Akibatnya, masyarakat saat titik puncak matahari sekitar pukul 12.00-14.00, merasakan panas yang menyengat.

“Jam 8 pagi saja suhu luar ruang sudah 33,9 derajat. Apalagi jam 2 siang sudah 40,3 derajat. Jadi bisa kebayang panasnya,” terang Abigael ditemui saat pembukaan Festival Sains dan Budaya (FSB) yang merupakan gabungan ISPO dan OSEBI (olimpiade seni dan budaya Indonesia), Jumat (21/2).

Karena ingin membantu masyarakat Jagebob, Siti dan Abigael pun melakukan penelitian. Mereka ingin masyarakat bisa mendapatkan papan plafon lebih murah.

Di Merauke, harga satu lembar tripleks Rp 110 ribu. Harga ini dirasakan sangat mahal bagi masyarakat yang pekerjaannya kebanyakan buruh tani dan tukang bangunan.

Untuk mendapatkan papan plafon terbaik, terang Siti, mereka melakukan pengujian tiga sampel.

Sampel 1 kulit pohon bus 300 gram dan lem 30 gram. Sampel 2 kulit pohon bus 300 gram dan lem 60 gram. Sedangkan sampel 3 menggunakan triplek sebagai pembanding.

Dari hasil uji pengukuran suhu, sampel 1 suhu dalam ruang pukul 08.00, 29,3 derajat. Sampel 2 suhunya 29, 3 derajat. Dan sampel 3 suhunya 31,4 derajat. Suhu luar ruang 33,9 derajat.

Pukul 16.00 WIT, suhu luar ruang 35,3 derajat, sampel 1 suhunya 31,8 derajat, sampel 2 suhunya 31,5 derajat dan sampel 3 suhunya 33,7 derajat.

Dari perlakuan itu menurut Siti yang terbaik ada penggunaan kulit pohon bus 300 gram dan lem 60 gram. Sebab, kulit pohon bus ini lebih merekat dan tidak rapuh. Semakin rekat kulit pohon busnya makin meredam panas.

Lebih lanjut dijelaskan, pengujian ini juga membuktikan kulit pohon bus dapat diolah menjadi papan plafon rumah antipanas. Papan plafon kulit pohon bus dengan pengujian fisik telah memenuhi standar SNI 03-2015-2006.

Dan, pada pengujian mekanik belum memenuhi standar. Oleh karena itu bahan yang baik digunakan sebagai papan plafon rumah terdapat pada sampel 2.

“Yang menggembirakan, harga perlembarnya Rp 60 ribu jadi lebih murah daripada tripleks. Ada selisih Rp 50 ribu dari triplek,” ucap Abigael.

Mengenai pemasaran, Siti mengatakan, masyarakat Jagebob mendukung mereka. Namun, untuk memproduksi secara besar-besaran butuh modal yang tidak sedikit.

Presiden ISPO Prof. Dr. Ir. Riri Fitri Sari, MM, M.Sc mengungkapkan, kualitas penelitian siswa dari tahun ke tahun semakin meningkat. Ini berkat ketekunan para guru yang terus memberikan inovasi kepada siswanya.

“Di dalam FSB ini tidak hanya lomba, guru-gurunya diberikan pelatihan oleh tenaga-tenaga profesional. Diharapkan guru-guru ini bisa melakukan transfer ilmu kepada para siswanya. Siswa akan tertarik meneliti kalau guru rutin mengedukasi. Begitu juga orang tua memberikan dukungan,” tuturnya. (esy/jpnn)

Sumber : Jpnn